Berita Tentang Tiga Orang Yang Meninggalkan Perang Tabuk
JUJUR DALAM TAUBAT
2. Berita tentang tiga orang yang meninggalkan perang Tabuk
Ka’ab bin Malik Radhiyallahu anhu berkata, “Aku tidak pernah meninggalkan peperangan yang diikuti oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam sekalipun kecuali pada perang tabuk, namun aku juga pernah meninggalkan perang Badar dan beliau tidak mencela siapa pun yang meninggalkan perang tersebut. Rasulullah dan kaum muslimin keluar untuk menghadang rombongan Quraisy, sampai Allah menggabungkan mereka dengan musuh-musuh mereka di luar perjanjian.
Dan aku bersaksi bersama Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pada malam ‘Aqabah ketika saling berbai’at dan saling berjanji untuk tetap di atas Islam dan betapa aku sangat ingin menjadi saksi pada perang Badar karena perang Badar adalah salah satu peperangan yang paling diingat oleh manusia.
Di antara kisahku adalah ketika aku tidak ikut serta pada perang Tabuk bersama Rasulullah, padahal aku merasa tidak lebih kuat dan lebih muda kecuali pada saat aku berpaling dari perang tersebut. Demi Allah aku tidak pernah bisa mengumpulkan dua ken-daraan perang (kuda perang) sebelumnya kecuali pada saat perang Tabuk tersebut. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjalani perang tersebut pada saat panas sangat menyengat, mengarungi perjalanan jauh dan melelahkan karena berada pada tempat yang sedikit air. Beliau melawan musuh yang banyak, lalu menjelaskan kepada kaum muslimin semua urusan mereka agar mereka mempersiapkan sesuatu yang dibutuhkan untuk memerangi mereka. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengabarkan mereka sesuai dengan apa yang beliau inginkan dan kaum muslimin yang bersama beliau ketika itu jumlahnya banyak dan satu buku tidak dapat mengumpulkan (nama) mereka. Maka seorang laki-laki berusaha untuk mundur karena dia menganggap hal demikian itu akan tersembunyi untuknya selama wahyu dari Allah Azza wa Jalla belum turun.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berangkat pada Tabuk pada saat buah-buahan dan pepohonan sedang lebat-lebatnya. Dan aku amat condong atau menyukai keadaan tersebut. Maka Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan kaum muslimin yang bersama beliau mempersiapkan diri untuk berperang dan aku pun pergi untuk mempersiapkan diri bersama mereka, lalu aku kembali dan belum melakukan apa pun dengan peralatan perangku. Kemudian aku pergi dan kembali belum melakukan apa pun.
Hal ini terus berlanjut hingga mereka pergi dengan cepat dan maju ke medan perang. Aku amat berkeinginan keras untuk berangkat menyusul mereka. ‘Alangkah indahnya jika aku melakukan itu.’ Kemudian ternyata Allah Subhanahu wa Ta’ala tidak menakdirkanku untuk berangkat. Lalu aku pun keluar menemui orang-orang setelah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berangkat ke medan perang, aku sangat sedih karena aku tidak melihat yang bisa aku jadikan teladan di antara mereka, yang aku dapatkan hanyalah orang-orang yang tertuduh melakukan kemunafikan atau orang-orang yang memang mendapatkan udzur dari Allah karena mereka orang-orang lemah.
Rasulullah tidak mengingatku ketika beliau sampai di Tabuk, maka ketika beliau sedang duduk-duduk bersama suatu kaum, beliau berkata, ‘Apa yang dilakukan Ka’ab bin Malik?’ Lalu salah seorang dari Bani Salamah menjawab, ‘Wahai Rasulullah, ibundanya telah mengekangnya (untuk keluar bersama kita) dan dia sedang memperhatikan kedua ketiaknya (sebagai isyarat bahwa ia sedang takjub dengan diri dan pakaiannya).’ Maka Mu’adz bin Jabal berkata kepada lelaki itu, ‘Betapa buruk apa yang engkau katakan tadi.’ Demi Allah wahai Rasulullah, kami tidak mengetahui tentang dia kecuali kebaikan. Maka Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam terdiam.
Ketika Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam keadaan seperti itu, tiba-tiba beliau melihat seorang laki-laki berpakaian putih yang terlihat dari kejauhan seperti air, lalu beliau berkata, ‘Ini pasti Abu Khaitsamah.’ Dan ternyata orang itu benar-benar Abu Khaitsamah al-Anshari yang pernah bersedekah dengan satu (1) Sha’ kurma, ketika dilecehkan oleh orang-orang munafik.”
Maka Ka’ab bin Malik berkata, “Ketika sampai kepadaku cerita bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bertolak untuk kembali dari Tabuk, aku dirundung kesedihan, aku pun mulai untuk berpikir bohong terhadap beliau, dan mengemukakan alasan yang akan menyelamatkan aku dari kemarahan beliau besok. Aku akan meminta bantuan kepada semua orang yang memiliki kewibawaan dari keluargaku. Ketika dikabarkan bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam sudah kembali, kebathilan pun menghilang dari diriku sehingga aku mengetahui tidak akan selamat selamanya dengan kebathilan tersebut. Lalu aku berusaha jujur terhadap beliau, pada pagi hari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam datang dari Tabuk, dan sudah menjadi kebiasaan beliau setelah safar, beliau selalu singgah pertama kali di masjid, lalu shalat dua raka’at. Kemudian beliau duduk menghadap manusia, ketika beliau melakukan itu orang-orang yang tidak ikut serta dalam perang mendatangi beliau, lalu mulailah mereka mengemukakan udzur-udzur mereka, maka Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menerima keterus-terangan mereka. Lalu beliau membai’at mereka dan memintakan ampun kepada Allah untuk mereka dan menyerahkan rahasia-rahasia mereka kepada Allah, sampai kemudian aku datang menemui beliau, setelah aku mengucapkan salam, beliau tersenyum dengan senyuman kemarahan, kemudian beliau berkata, ‘Kemarilah.’ Lalu aku pun berjalan menghampiri beliau, kemudian duduk di hadapan beliau.
Lalu beliau berkata kepadaku, ‘Apa yang membuatmu tidak ikut serta untuk berperang, bukankah engkau telah membeli pungsungmu?’ Aku berkata, ‘Wahai Rasulullah, demi Allah seandainya aku duduk di sisimu dari seluruh penghuni dunia, aku yakin akan bisa keluar dari kemarahannya dengan mengemukakan udzur. Aku telah diberi kemampuan untuk mengeluarkan kata-kata yang indah, namun demi Allah, aku sangat mengetahui bahwa jika pada hari ini aku berbicara kepadamu dengan ucapan yang dusta dan engkau mempercayainya, maka Allah akan membuatmu marah kepadaku. Dan jika aku berbicara kepadamu dengan kejujuran, engkau akan mendapatkan kejujuran itu atasku. Aku benar-benar mengharap ampunan Allah, demi Allah aku tidak punya udzur, demi Allah, tidaklah aku mendapatkan kekuatan dan kemudahan rizki kecuali pada saat aku berpaling darimu.’
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, ‘Adapun orang ini telah berkata jujur, maka bangunlah sampai Allah memutuskan perkara yang ada padamu.’ Maka aku pun berdiri dan berdatanganlah orang-orang dari Bani Salamah, lalu mereka mengikutiku seraya berkata kepada Ka’ab bin Malik, ‘Demi Allah kami tidak tahu bahwa engkau melakukan suatu dosa sebelum ini mengapa engkau tidak mampu mengungkapkan udzurmu kepada Rasulullah sebagaimana orang-orang yang tidak ikut serta mengungkapkan udzurnya. Cukup bagi dosamu itu adalah permintaan ampun Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.’” Ka’ab berkata, “Demi Allah mereka terus menerus mencelaku sampai aku berkeinginan untuk kembali menemui Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, lalu mendustakan diriku. ”
Ka’ab berkata, “Kemudian aku berkata kepada mereka, ‘Apakah ada orang yang lain bersamaku?’ Mereka menjawab, ‘Ya, ada dua orang bersamamu, mereka mengatakan seperti apa yang kamu katakan dan dikatakan kepada mereka berdua seperti apa yang dikatakan kepadamu.’ Aku berkata lagi, ‘Siapa mereka?’ Mereka menjawab, ‘Murarah bin Rabi’ah al-Amiri dan Hilal bin Umayyah al-Waqifi.’”
Ka’ab berkata, “Kemudian mereka menyebutkan kepada dua orang laki-laki yang turut serta pada perang Badar, pada diri mereka terdapat teladan, maka aku berangkat ketika mereka menyebutkan kedua orang tersebut kepadaku. ”
Ka’ab kembali berkata, “Dan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang kaum muslimin untuk berbicara kepada kami, tiga orang yang tidak ikut serta pada perang Tabuk.”
Ka’ab juga berkata, “Maka manusia pun menjauhi kami.” Beliau berkata lagi, “Sikap mereka berubah terhadap kami sehingga kami merasa bumi tempat kami berpijak pun telah mengingkari kami. Adapun kedua Sahabatku yang lain (Murarah bin Rabi’ah dan Hilal bin Umayyah) lebih memilih berdiam diri dan duduk di rumah-rumah mereka sambil menangis, sedangkan aku yang paling muda dan paling kuat di antara mereka, maka aku tetap keluar rumah untuk melaksanakan shalat dan berkeliling ke pasar-pasar. Dan tidak satu orang pun yang mengajak aku bicara, lalu aku mendatangi Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan mengucapkan salam kepada beliau yang saat itu sedang duduk setelah shalat, aku berkata dalam hatiku, ‘Apakah beliau akan menggerakkan kedua bibirnya untuk membalas salam atau tidak?’ Kemudian Aku shalat dekat dari beliau dan aku mencuri pandangan ke beliau, ketika aku memulai shalatku beliau me-lihat ke arahku, lalu beliau menengok ke arah lain untuk memalingkan wajahnya dariku. Ketika kebekuan sikap kaum muslimin kepadaku cukup lama aku rasakan akhirnya aku berjalan dan menaiki dinding pagar milik Abu Qatadah, beliau adalah anak pamanku dari manusia yang paling aku cintai lalu aku pun mengucapkan salam kepadanya. Demi Allah beliau tidak mau menjawab salamku.
Aku berkata kepadanya, ‘Wahai Abu Qatadah aku bersumpah demi Allah, apakah kamu benar-benar mengetahui bahwa aku mencintai Allah dan Rasul-Nya?’ Ka’ab berkata, ‘Beliau hanya diam.’ Lalu aku kembali bersumpah dan beliau pun kembali diam, lalu aku kembali bersumpah untukku, lalu beliau berkata, ‘Allah dan Rasul-Nya-lah yang lebih menge-tahui.’ Maka mataku pun berlinang air mata, lalu aku berpaling sampai aku menaiki dinding.
Ketika aku berjalan di pasar kota Madinah, aku melihat ada petani asing dari penduduk Syam, dia berkata kepada penjual makanan yang melayaninya, siapakah yang bisa menunjukkanku kepada Ka’ab bin Malik? Ka’ab berkata, ‘Maka manusia yang ada di sana langsung memberi isyarat ke arahku.’ Lalu petani tersebut mendatangiku dan memberiku sebuah kitab (sejenis surat) dari Raja Ghassan, lalu aku baca tulisan tersebut yang isinya adalah:
‘Amma ba’du. Telah sampai kepada kami sebuah berita bahwa Sahabatmu (Muhammad) telah berlaku kasar terhadapmu dan Allah tidaklah menjadikanmu di tempat yang hina, bergabunglah dengan kami niscaya kami akan memakaikan mahkota di kepalamu.’
Ka’ab berkata ketika membaca surat tersebut, ‘Surat ini pun termasuk bencana.’ Lalu aku menuju tempat membuat roti kemudian aku membakarnya.’
Ketika sampai hari ke-40 dari 50 hari yang dijanjikan dan wahyu terlambat turun, tiba-tiba seorang utusan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mendatangiku dan berkata, ‘Sesungguhnya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkanmu agar kamu menjauhi istrimu.’ Ka’ab berkata, ‘Aku katakan, ‘Apakah aku harus menceraikannya? atau apa yang harus aku lakukan?’ Utusan tersebut men-jawab, ‘Tidak, namun cukup kamu jauhi istrimu dan jangan mendekatinya.’ Ka’ab berkata, ‘Beliau juga mengutus seseorang kepada kedua Sahabatku (Murarah bin Rabi’ah dan Hilal bin Umayyah) seperti itu.”
Ka’ab berkata, ‘Lalu aku berkata kepada istriku, “Kembalilah kepada keluargamu dan menetaplah bersama mereka sampai Allah memutuskan perkara ini. ”
Ka’ab berkata, ‘Istri Hilal bin Umayyah datang menemui Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam seraya berkata, ‘Wahai Rasulullah sesungguhnya Hilal bin Umayyah adalah orang tua yang terlantar dan tidak memiliki pembantu, maka apakah engkau tidak suka bila aku melayaninya dan berkhidmat kepadanya.’ Rasulullah menjawab, ‘Tidak, namun dia tidak boleh mendekatimu.’
Istrinya kembali berkata, ‘Demi Allah sesungguhnya, dia tidak mampu bergerak kepada sesuatu dan demi Allah dia selalu menangis semenjak kejadian itu sampai hari ini.’”
Ka’ab kembali berkata, “Sebagian keluargaku berkata kepadaku, ‘Seandainya kamu meminta izin kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang istrimu, beliau telah memberi izin kepada istri Hilal bin Umayyah untuk melayaninya.’”
Ka’ab juga berkata, “Aku tidak ingin meminta izin kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang istriku, aku tidak tahu apa yang akan dikatakan beliau jika aku meminta izin kepadanya, sedangkan aku masih muda.”
Lalu Ka’ab berkata, “Maka aku menjalani hal yang demikian selama 10 malam, maka sempurnalah bagi kami 50 malam dari hari datangnya larangan berbicara kepada kami.”
Ka’ab berkata, “Kemudian aku shalat Shubuh pada pagi hari yang ke-50 hari di sisi salah satu rumah kami, ketika aku duduk dalam keadaan seperti itu, di mana aku berdzikir kepada Allah Azza wa Jalla, aku merasa jiwaku telah sempit dan sesak, bumi tempat aku berpijak pun seakanakan sudah sempit, tiba-tiba aku mendengar suara orang yang berteriak dari salah satu bukit di Madinah (Bukit Sala’), orang itu berkata dengan suara keras, ‘Wahai Ka’ab bergembiralah.’ Ka’ab berkata, “Aku pun langsung tersungkur untuk sujud. Aku tahu bahwa kelapangan yang kunanti telah datang.”
Lalu Ka’ab berkata, “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengumumkan kepada manusia tentang turunnya taubat Allah kepada kami saat beliau melaksanakan shalat Shubuh, lalu manusia pergi untuk membawa berita itu kepada kami, sebagaimana yang lain pergi kepada dua orang Sahabatku untuk menyampaikan berita gembira itu kepada mereka, bahkan ada seorang laki-laki yang melompat dari kudanya menghadapku dan ada lagi orang yang lebih dahulu masuk Islam dariku berlari-lari ke arah gunung dan suaranya lebih cepat daripada seekor kuda, tatkala orang yang bersuara dengan berita gembira yang kudengar itu datang kepadaku, maka aku melepas dua pakaianku untuknya dan langsung aku pakaikan dua pakaian tersebut padanya karena ia telah datang dengan membawa berita gembira, padahal demi Allah pada hari itu aku tidak memiliki pakaian lagi selainnya. Lalu aku meminjam dua pakaian dan aku pakai, kemudian aku berangkat menuju Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, manusia pun secara berkelompok-kelompok datang menemuiku, mereka memberiku ucapan selamat dengan datangnya taubat (ampunan dari Allah kepadanya), mereka menyatakan, ‘Selamat atas turunnya taubat atau ampunan Allah kepadamu.’ Hingga ketika aku masuk masjid, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam sedang duduk di dalam masjid dan dikelilingi oleh manusia, lalu Thalhah bin ‘Ubaidillah Radhiyallahu anhu berdiri dan berlari ke arahku, menyalamiku dan memberikan ucapan selamat kepadaku, demi Allah tidak ada seorang Muhajirin pun yang berdiri selain beliau, maka Ka’ab tidak akan pernah melupakan Thalhah.”
Ka’ab juga berkata, “Tatkala aku memberi salam kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam beliau berkata dengan wajah yang sangat ceria karena bahagia, ‘Berbahagialah dengan kebaikan hari yang kamu lewati sejak kamu dilahirkan oleh ibumu.”
Kemudian Ka’ab berkata, “Aku berkata, ‘Apakah ampunan ini datang darimu wahai Rasulullah ataukah langsung dari Allah?’ Beliau menjawab, ‘Tidak, ampunan ini datang langsung dari Allah.’
Jika Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam sedang bahagia, maka wajahnya akan bercahaya, wajah beliau laksana potongan rembulan. Ka’ab berkata, ‘Dan kami mengetahui itu.’
Ka’ab berkata, “Ketika aku duduk di hadapan beliau, aku berkata, ‘Wahai Rasulullah untuk taubatku ini, maka aku akan melepaskan hartaku untuk sedekah di jalan Allah dan Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Maka Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, ‘Peganglah sebagian hartamu, maka itu lebih baik bagimu.’”
Ka’ab berkata, “Aku berkata, ‘Sesungguhnya aku telah memiliki bagianku di Khaibar.’”
Dan Aku berkata, ‘Wahai Rasulullah sesungguhnya Allah menyelamatkanku dengan kejujuran. Dan sesungguhnya dari taubatku ini, aku tidak akan berbicara kecuali jujur selama aku masih hidup.’”
Kemudian Ka’ab berkata, “Demi Allah, aku tidak mengetahui ada seseorang dari kaum muslimin yang Allah beri cobaan karena ia berkata jujur semenjak aku sebutkan hal itu kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam sampai hari ini dengan cobaan yang lebih baik dari cobaan yang telah Allah berikan kepadaku. Demi Allah aku tidak pernah berkata dusta semenjak aku mengatakan yang demikian kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam sampai hari ini dan aku mengharapkan agar Allah tetap menjagaku yaitu pada apa-apa yang tersisa dari umurku.”
Ka’ab berkata, “Lalu Allah Subhanahu wa Ta’ala menurunkan firman-Nya:
لَقَدْ تَابَ اللَّهُ عَلَى النَّبِيِّ وَالْمُهَاجِرِينَ وَالْأَنْصَارِ الَّذِينَ اتَّبَعُوهُ فِي سَاعَةِ الْعُسْرَةِ مِنْ بَعْدِ مَا كَادَ يَزِيغُ قُلُوبُ فَرِيقٍ مِنْهُمْ ثُمَّ تَابَ عَلَيْهِمْ ۚ إِنَّهُ بِهِمْ رَءُوفٌ رَحِيمٌ ﴿١١٧﴾ وَعَلَى الثَّلَاثَةِ الَّذِينَ خُلِّفُوا حَتَّىٰ إِذَا ضَاقَتْ عَلَيْهِمُ الْأَرْضُ بِمَا رَحُبَتْ وَضَاقَتْ عَلَيْهِمْ أَنْفُسُهُمْ وَظَنُّوا أَنْ لَا مَلْجَأَ مِنَ اللَّهِ إِلَّا إِلَيْهِ ثُمَّ تَابَ عَلَيْهِمْ لِيَتُوبُوا ۚ إِنَّ اللَّهَ هُوَ التَّوَّابُ الرَّحِيمُ ﴿١١٨﴾ يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَكُونُوا مَعَ الصَّادِقِينَ
‘Sesungguhnya Allah telah menerima taubat Nabi, orang-orang Muhajirin dan orang-orang Anshar, yang mengikuti Nabi dalam masa kesulitan, setelah hati segolongan dari mereka hampir berpaling, ke-mudian Allah menerima taubat mereka itu. Sesung-guhnya Allah Maha Pengasih lagi Maha Penyayang kepada mereka, dan terhadap tiga orang yang di-tangguhkan (penerimaan taubat) kepada mereka, hingga apabila bumi telah menjadi sempit bagi mereka, padahal bumi itu luas dan jiwa mereka pun telah sempit (pula terasa) oleh mereka serta mereka telah mengetahui bahwa tidak ada tempat lari dari (siksa) Allah, melainkan kepada-Nya saja. Kemudian Allah menerima taubat mereka agar mereka tetap dalam taubatnya. Sesungguhnya Allah-lah Yang Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang. Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaklah kamu bersama orang-orang yang benar.” [At-Taubah/9:117- 119]
Ka’ab berkata, “Demi Allah tidaklah Allah memberikan kenikmatan-Nya kepadaku semenjak aku mendapatkan hidayah untuk masuk Islam yang lebih agung dari kejujuranku terhadap Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Jika aku berdusta terhadap beliau, maka aku akan binasa sebagaimana binasanya orang-orang yang berdusta. Sesungguhnya Allah telah berkata kepada orang-orang yang berdusta dengan perkataan yang jelek yang belum pernah Allah katakan kepada siapa pun, Allah Ta’ala berfirman:
سَيَحْلِفُونَ بِاللَّهِ لَكُمْ إِذَا انْقَلَبْتُمْ إِلَيْهِمْ لِتُعْرِضُوا عَنْهُمْ ۖ فَأَعْرِضُوا عَنْهُمْ ۖ إِنَّهُمْ رِجْسٌ ۖ وَمَأْوَاهُمْ جَهَنَّمُ جَزَاءً بِمَا كَانُوا يَكْسِبُونَ ﴿٩٥﴾ يَحْلِفُونَ لَكُمْ لِتَرْضَوْا عَنْهُمْ ۖ فَإِنْ تَرْضَوْا عَنْهُمْ فَإِنَّ اللَّهَ لَا يَرْضَىٰ عَنِ الْقَوْمِ الْفَاسِقِينَ
“Kelak mereka bersumpah kepadamu dengan nama Allah, apabila kamu kembali kepada meraka, supaya kamu berpaling dari mereka. Maka berpalinglah kepada mereka, karena sesungguhnya mereka itu adalah najis dan tempat mereka adalah Jahannam, sebagai balasan atas apa yang telah mereka kerjakan. Mereka akan bersumpah kepadamu agar kamu ridha kepada mereka. Tetapi jika sekiranya kamu ridha terhadap mereka, maka sesungguhnya Allah tidak ridha kepada orang-orang yang fasik.`” [At-Tau-bah/9: 95-96]
Ka’ab juga berkata, “Kami bertiga ditinggalkan dari perkara mereka yang diterima Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika mereka bersumpah kepada beliau, lalu beliau membuat dan memintakan ampunan untuk mereka. Dan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menunda perkara kami sampai datang keputusan Allah terhadapnya, maka dari itu Allah berfirman, ‘Dan terhadap tiga orang yang ditangguhkan (penerimaan taubat) mereka.’ Allah tidak menyebutkan ditangguhkannya kami, karena kami tidak ikut serta dalam peperangan, namun Allah ingin menangguhkan dan menunda perkara kami dari orang yang bersumpah dan meminta udzur kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, lalu beliau menerimanya.”1
[Disalin dari buku Luasnya Ampunan Allah” Terjemahan dari kitab at-Taubah an-Nashuuh fii Dhau-il Qur-aan al-Kariim wal Ahaa-diits ash-Shahiihah, Ditulis oleh Syaikh Salim bin ‘Ied al-Hilali hafizhahullaah, Penerjemah Ruslan Nurhadi, Lc. Penerbit Pustaka Ibnu Katsir]
______
Footnote
1 HR. Bukhari (VIII/342-343-al-Fat-h) dan Muslim (XVII/87-98 -an-Nawawi) dan redaksi dari beliau.
Artikel asli: https://almanhaj.or.id/685-berita-tentang-tiga-orang-yang-meninggalkan-perang-tabuk.html